“Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri,” Pramoedya Ananta Toer.
Gregorius Herkulanus Bala merasa amat bersyukur dengan apa yang Tuhan berikan kepadanya saat ini. Hidupnya lebih dari cukup, dipenuhi keberlimpahan, dan menjadi berkah bagi banyak orang. Sesuatu yang tidak berani dia bayangkan berpuluh-puluh tahun lalu, karena memulai semuanya dari bawah, bahkan teramat bawah: yakni sebagai tukang pikul.
Setelah merasa cukup dari sisi materi dan finansial, Bala merasa harus menyebarkan kebaikan Tuhan kepada semua orang, dengan mengabdikan seluruh hidupnya untuk Sintang, tempat semua kariernya dimulai. Politikus Gerindra itu maju sebagai bakal calon bupati, menggandeng tokoh muda, Florensius Ronny, yang saat ini sebagai Ketua DPRD Sintang.
Bala bukanlah nama baru di panggung politik. Langkah tersebut sudah ditapakinya sejak satu dekade lalu, ketika mencalonkan diri di pemilihan legislatif 2014. Setelah terpilih di tingkat kabupaten, karier Bala terus melesat, hingga terpilih menjadi anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat selama dua periode, 2019-2024 dan 2024-2029.
Filosofi di Balik Nama Bala
Nama Bala sendiri diambil dari buluh bala (bambu kuning). Nama itu diberikan orang tuanya karena sang anak lahir tak jauh dari bambu di dekat rumah. Setelah ditelaah secara seksama, nama itu menyimpan banyak filosofi kehidupan, yang kelak membawanya pada banyak keajaiban hidup.
Secara umum, bambu memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, mulai dari tunas, akar hingga batangnya. Selain bisa menjadi lantai dan dinding rumah, batangnya kerap dijadikan gelas, dan tempat menyimpan hasil sadapan karet, yang menjadi sumber penghasilan orang-orang di Kalimantan. Batang bambu juga menyimpan air yang bisa diminum. Selain itu, tunasnya (rebung) juga bisa dijadikan sayur.
Dalam bisnis, filosofi bambu sering dipakai para pedagang dalam merintis sebuah usaha. Ketika ditanam pada usianya 0-4 tahun, batang bambu tidak berkembang dan terlihat sama. Tapi, selama masa itu, bambu justru sedang membangun akar. Setelah akarnya kuat dan kokoh, barulah bambu memperbesar batangnya dan tumbuh dengan cepat, bahkan di luar perkiraan kita. Hal itu yang membuat bambu susah ditumbangkan, meski oleh angin kencang sekalipun.
Sama seperti itulah “hidup” yang dijalani Bala, butuh waktu lama bagi dirinya membangun pondasi karier. Dia harus ditempa dan bersusah payah dalam membangun seluruh bisnisnya, mulai dari tukang pikul, mengantre minyak, kerja emas, hingga menuai hasil dan terjun ke politik.
Menjadi Tukang Pikul, Sukses dan Terjun ke Politik
Setelah menamatkan SMP di Lanjing, Bala merantau ke Sintang untuk melanjutkan pendidikan di SMA Panca Setya. Waktu itu, Bala cuma dibekali uang Rp10 ribu dari orang tuanya. “Sejak saat itu saya tidak pernah minta lagi karena kondisi ekonomi orang tua yang sulit,” katanya.
Untuk itu, Bala harus memutar otak agar kebutuhan sekolahnya terpenuhi. “Karena memang orang tua endak ada untuk membiayai. Untuk menghidupi diri di Sintang ini ya mau tak mau apapun dilakukan selagi positif dan halal, karena kalau tidak melakukan itu memang tidak bisa sekolah di Sintang,” kenang Bala.
“Saya jadi tukang pikul ikut orang bongkar barang di truk, atau melakukan apapun yang disuruh orang, asalkan kerja,” katanya.
“Kalau malam mijit supir-supir yang dari Pontianak. Di situlah saya dapat tambahan untuk berangkat sekolah, soalnya saya tinggal di Sungai Durian, sekolah di SMA Panca Setya, jadi perlu menyeberang.”
Ketika masanya 80-an, Bala bilang, sekolah dan merantau ke Sintang sangat penuh perjuangan. “Dari kampung saya ke Sintang kalau lewat jalan darat bisa sampai 12 jam, kalau lewat jalur air bisa 2 hari karena singgah nginap di Nanga Lebang,” ungkap Bala.
“Waktu itu kalau bicara akses menuju ke Sintang, kita kadang pakai sampan dayung. Kalau pun pakai speed boat, kalau pas nasib bagus, beruntung, bisa ketemu dengan orang bedagang bawa karet kita bisa ikut, tapi kalau endak ada ya pakai sampan, bedayung.”
“Kalau pun melewati jalur darat, harus melalui jalan tikus. Kalau sekarang lewat jalan Klutap (Kelam, Luit, Rentap). Tapi waktu dulu kan belum ada jalan Klutap itu,” kata Bala melanjutkan.
Bagi Bala, masa itu adalah masa penuh kegetiran, sampai-sampai tidak bisa lagi membedakan arti kata “susah” karena hidupnya berangkat dari kesusahan satu menuju kesusahan lain. “Makanya orang susah itu susah dilawan karena sudah pernah mengalami kesulitan yang luar biasa.”
Ketika menikah dan punya anak, Bala masih menjadi tukang pikul untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Waktu saya menjadi tukang pikul itu waktu kecil-kecilnya anak saya, kecil-kecilnya mereka itu. Untuk menghidupi mereka.”
Tak lama berselang, Bala lalu beralih menjadi supir truk dan menjual barang-barang milik kawannya sampai ke Badau. Bahkan bekerja mengantre minyak juga pernah digelutinya.
“Waktu itu, keuntungan per liternya Rp500. Kalau bisa dapat 70 liter, dapat untung Rp35 ribu per hari saja sudah senang. Situasi dan kendala itu lama saya jalani sekitar dua tahun.”
Namun dari sekian banyak pekerjaan itu, yang paling lama Bala geluti adalah bekerja emas. “Jadi kalau orang kerja emas itu, suka dukanya saya paham, kesulitan dan kendalanya. Tidak gampanglah.”
“Makanya saya secara pribadi paham, kenapa mereka harus kerja itu. Meskipun ada yang sukses, tapi banyak juga yang gagal. Kalau ada pekerjaan lain, saya yakin mereka akan kerja lain karena berat, dan mereka terpaksa melakukan itu untuk bertahan hidup,” kenang Bala.
Bala bilang, sewaktu bekerja emas, dia mendapat kepercayaan penuh dari bosnya untuk mengurus berbagai pekerjaan, termasuk mengurus karyawan, mengurus hasil emas, mengurus sembako dan lain-lain.
Setelah lama bertarung dengan kesulitan hidup, Bala mulai menemukan titik balik dan sedikit bisa bernapas lega. Peristiwa itu terjadi pada awal tahun 2006. Waktu itu dia diminta oleh bosnya untuk membuka usaha jual beli karet di Simpang Medang.
“Mungkin bos saya melihat rekam jejak saya selama ini. Rekam jejak dalam arti cara saya bekerja dan bisa dipercaya orang. Jadi mungkin bos saya berpikir, orang ini bisa dipakai. Akhirnya dia menyuruh saya untuk mengumpul karet di Simpang Medang.”
“Awalnya saya tidak mau karena saya tidak punya apa-apa. Saya tidak punya timbangan, saya tidak ada paku untuk bikin pagar dan saya tidak ada cangkul untuk gali kolam.”
“Bos saya nanya, mengapa endak mau? Karena saya tidak punya apa-apa, kasian terlalu berat nanti, tapi beliau tetap ngotot nyuruh saya ngumpul karet.”
Awalnya, Bala mengira akan dijadikan karyawan seperti yang sudah-sudah. “Rupanya dia tidak membuat saya jadi karyawan, tetapi membuat saya menjadi mitra. Saya tidak digaji, jadi saya jual beli karet dengan dia. Semua modalnya dari beliau.”
“Di situlah saya berpikir bahwa kepercayaan itu mahal harganya. Itung-itung semua yang saya dapatkan ini berkat kepercayaan,” kenang Bala mengingat masa-masa sulitnya.
Tapi, jauh sebelum itu, Bala pernah mengkhayal, seandainya kelak diberi kesempatan berdagang, maka dia akan hidup hemat dan fokus mengejar omset ketimbang hidup berfoya-foya.
“Jadi selama itu kami sekeluarga endak berani menghabiskan Rp100 ribu sehari, walaupun waktu itu omset kami bisa sampai 80-100 ton perbulan, tapi kami tidak pernah menghabiskan 100 ribu sehari di keluarga kami, kecuali untuk karyawan di penampungan kulat. Untuk hidup karyawan tetap harus terjamin.”
“Jadi keuntungan waktu itu saya putarkan lagi untuk membangun jaringan dengan rekanan (jerahan), biar mereka bisa mengumpulkan kulat ke kampung-kampung. Jadi bisa dapat kulat agak banyak, itu yang saya lakukan.”
Prinsip hidup hemat terus dijalani Bala meskipun hidupnya sudah jauh lebih baik. “Bahkan ketika omset saya sudah meningkat pun saya belum membeli mobil. Pokok bagaimana caranya saya harus mengejar omset. Itu yang saya upayakan.”
Berapa tahun kemudian, usaha Bala mulai menunjukkan hasil. Di akhir tahun 2009 dia mulai merambah usaha kebun sawit. “Orang dari Jakarta, dari Singapura datang bekebun di sini. Jadi saya berpikir, kenapa saya juga tidak memulai.”
Dari sana bisnisnya semakin tumbuh sampai membuka tempat penggilingan batu. “Ceritanya pas kawan saya endak bisa melanjutkan usaha kerja batu, dia minta tolong saya ambil alih, lalu saya komunikasikan dengan bos saya yang bantu saya usaha karet itu. Awalnya kita komunikasikan, saya presentasikan risiko dan peluangnya, akhirnya kita putuskan untuk ambil.”
“Waktu itu kita tidak tahu sama sekali batu ini akan dibeli oleh siapa, berapa omset yang akan tercapai? Kita tidak membicarakan sampai ke sana. Pokoknya kerja dulu.”
“Cuma mungkin Tuhan lagi baik, begitu kita kerja batu, bandara kemudian dibikin, pabrik karet pun dibikin, terus beberapa pabrik sawit dibikin. Jadi karena itulah kita bisa menyelesaikan segala hutang piutang dalam membangun penggiling batu itu.”
“Sebenarnya kita tidak terlalu sukses-sukses benar,” ungkap Bala dengan penuh rendah hati. “Tapi patut disyukuri karena bisa mempekerjakan orang-orang, dengan begitu tenaga kerja bisa terserap. Itu suatu kepuasan kita sendiri.”
Saatnya Turun Gurung: Mengabdi untuk Masyakarat
Setelah itu, Bala mulai memilih politik sebagai jalan hidup. Rencana Tuhan sungguh indah, Bala langsung terpilih menjadi anggota DPRD Sintang periode 2014-2019. Langkahnya tepat, dan Bala mendapat kepuasaan dari karier barunya.
“Saya ingat benar ada jembatan di Sungai Maram yang tidak bisa dilewati, kemudian kita sampaikan kepada pemerintah dan dibangunlah. Setelah jembatan itu jadi dan bisa dipakai masyarakat, di situlah saya merasa puas. Dulu ketika kita menjadi masyarakat biasa, bertemu dan menyampaikan kepada pejabat belum tentu didengar.”
“Jadi saya berpikir, saya bisa mewakili rakyat. Kita bisa menyampaikan dengan pemerintah terkait kendala yang dihadapi masyarakat. Di situ saya menyadari kalau fungsinya luar biasa. Karena kita bisa berada di lembaga yang legal untuk menyampaikan keinginan masyarakat kepada pemerintah.”
Ketika memahami betul tugas dan fungsi seorang dewan, Bala kemudian maju di tingkat provinsi. Dan lagi-lagi, dia berhasil terpilih. Perjuangan dalam menyampaikan aspirasi masyarakat terus berlanjut. Dia merasa amat bersyukur karena bisa memberikan banyak manfaat kepada masyarakat.
Meskipun tidak memiliki gelar sarjana, Bala mampu membuktikan diri dalam menyampaikan aspirasi sampai ke tingkat provinsi. “Karena para pejabat itu kebanyakan lulusan S2 dan S3. Mereka pintar, tapi puji Tuhan kita mampu mengimbangi dalam berargumentasi,” ungkap Bala.
“Karena komunikasi itu butuh skill, kapan harus mendengar, kapan harus bicara, semua butuh waktu yang tepat. Dan tentunya butuh pengetahuan. Termasuk mempelajari aturan,” kata Bala.
Bala pun tak henti-hentinya bersyukur atas jalan hidup yang telah diberikan Tuhan kepadanya. “Saya sangat berterima kasih sekali dengan Tuhan karena bisa sampai ke jejang ini.”
“Saya seringkali menyampaikan, sehebat apapun saya ketika jadi pedagang, kalau kita ketemu di warung paling orang hanya berani ambil daging sapi dua tiga potong, lebih dari itu takut sakit. Tapi kalau saya jadi pejabat, saya bisa bantu lewat kelompok tani sampai belasan ekor sapi, ini yang luar biasa. Tugas dengan fungsi ini kalau kita benar ini luar biasa.”
Dari situ Bala semakin memantapkan diri untuk terjun ke dunia politik, termasuk mencalonkan diri sebagai bupati Sintang. “Jadi saya berpikir, kita harus mencari berbagai cara untuk memajukan Sintang, jadi tidak hanya mengakomodir satu golongan, baik itu agama, suku dan kelompok, tapi kita bicara Sintang secara lebih menyeluruh.”
Selain menyoroti masalah pendidikan, kesehatan, kesenian dan kebudayaan, Bala juga menyampaikan betapa pentingnya mencari alternatif baru dalam mendorong roda-roda perekonomian di Sintang.
“Bagaimana kita mencari sumber dana, mencari kegiatan, dan mencari investor, karena ini bisa membuat ekonomi bergerak. Dengan adanya proses ekonomi berarti pendapatan bisa meningkat, tenaga kerja terserap, daya beli kuat dan inflasi pasti terjaga.”
Untuk itu, Bala meminta doa dan dukungan dari seluruh masyarakat supaya bisa sama-sama terlibat dalam Pembangunan Kabupaten Sintang, sehingga bisa lebih sejahtera, bersih, damai, aman dan menjadi tempat yang nyaman bagi seluruh golongan.
“Hidup saya sudah lebih dari cukup, sudah saatnya saya mengabdi,” pungkas Bala. (Catatan Khusus)