KOTA DEPOK — Kendati sempat ditolak Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Religius di Kota Depok, Namun, Raperda Religius tersebut kembali digulirkan bahkan di tahun 2021 akan dibahas. Sebab,
makna dari religius sangat luas tidak sebatas ritual belaka. Itu dalam konteks untuk melanjutkan kepemimpinannya. Jadi, tidak sepakat dengan adanya Perda Religius, bagaimana seorang menjalankan amanah dengan baik.
“Artinya, Raperda Religius itu justru mempersempit makna religius sendiri. Karena, jika mengatakan religius harus lebih dulu ditunjukkan Pemkot Depok dengan berlaku adil kepada semua pihak. Seperti, melayani publik dengan cepat dan baik. Selanjutnya, bagaimana membangun umat yang berkualitas agar tangguh, kuat, cerdas, perkasa dan lainnya. Bahkan, takut untuk meninggalkan umat yang rendah atau tertinggal,” ujar Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Depok Ust. Achmad Solechan, seusai menjadi narasumber Ngobrol Politik Webinar Gerakan Depok Berubah: “Raperda Kota Religius Jalan Menuju Kota Syariah ?”.
Menurut Kiyai yang juga lulusan UI, bahwa
sebagai penyelenggara dalam Pemerintahan aspek utama adalah pemanfaatan APBD Kota Depok. Yakni, bagaimana distribusi alokasi anggaran untuk pelayanan publik dan infrastruktur dengan baik. Jadi, dinilai dalam 10 tahun terakhir malah terjadi kemunduran di Depok. “Artinya, Raperda Religius di Depok hanya upaya menipu Syariah. Jadi, ini sesungguhnya men-down grade Kota Depok. Itu menipu aja semua,”tutur Achmad Solechan.
Dia menjelaskan, bahwa selama beberapa tahun terakhir pembangunan di Kota Depok belum berjalan dengan baik. Seperti, belum adanya penambahan Sekolah Negeri baru, tidak ada peningkatan pelayanan ekonomi UMKM yang menguntungkan masyarakat.
Bahkan, sangat prihatin melihat adanya SD yang sekolah sampai tiga shif.
“Jadi, kalau benar religius, harusnya dia nangis melihat jalan rusak, selokan yang mampet atau kotor. Shubuh keliling bagus, tapi kalau sekadar pencitraan kan beda. Apalagi, kita sudah pernah dapat informasi bahwa draft Raperda itu copy paste dari Kota Tasikmalaya. Kalau dilihat dari kondisi keduanya sangat bebeda jauh. Sebenarnya dengan mengikuti hukum dan ketentuan yang ada di Indonesia sudah mengikuti Islam dan menjalankan syariat Islam,” jelas Achmad Solechan.
Sementara itu, Coki Naipospos dari Setara Institut menilai bahwa Raperda religius tidak berkorelasi dengan penyelenggara pelayanan publik, korupsi, keadilan. Bahkan, ia melihat beberapa Kota justru lebih buruk dibandingkan dengan Kota-kota yang tidak memiliki Perda Religius.
“Perda ini hanya tempelan, Gimik atau hanya populer vooter. Syariah secara merangkak, tidak mampu berbuat apa-apa.
Jadi, jangan hanya untuk kepentingan politik,” ketus Coki.
Dia menjelaskan, bahwa dengan sejumlah 540 Perda yang terinspirasi dari agama mayoritas di berbagai daerah. Sedikitnya 60 Perda diantaranya berimplikasi pada kebijakan kebebasan beragama dan toleransi. Pihaknya juga telah melakukan riset tentang Indeks Kota toleran bekerjasama dengan Kemendagri dan membuat insentif. Jadi, bagi Kepala Daerah yang menjalankan kebijakan politiknya dengan menghargai perbedaan, menjunjung tinggi nilai toleransi dan lainnya.
Artinya, khusus Depok selama 4 tahun Kota Depok menempati 10 skor terendah. Karena ada regulasi dan tindakan belum mampu dalam menghargai toleransi dan kebebasan beragama. Sebagai catatan salah satu faktor dominan tentukan kemajemukan, ada di pimpinan Kepala Daerah. Kalau punya komitmen pada kebinekaan biasanya lebih adil, mampu merangkul semua kalangan dan menjaga keberagamaan,” jelas Coki.
Coki juga melihat, bahwa hingga saat ini tidak ditemukan inovasi atau capaian dalam pelayanan publik. Menurutnya, apa yang dibutuhkan masyarakat belum sepenuhnya tersentuh. “Bahkan, masih ada isu yang lebih penting berdampak pada masyarakat dibandingkan dengan satu program,” pungkasnya.
SAID